Kepemimpinan Tangguh di Tengah Krisis dalam Pandangan Jusuf Kalla
Dalam acara Meet The Leaders yang diselenggarakan oleh Universitas Paramadina Jakarta, mantan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla membagikan pandangannya tentang kepemimpinan di tengah krisis global.
Dengan tajuk "Leading Through The Storm: Resilient Leadership in Time of Crisis", Kalla menekankan pentingnya ketegasan, tanggung jawab, dan visi yang jelas dari seorang pemimpin, terutama dalam menghadapi tantangan ekonomi dan geopolitik dunia yang semakin kompleks.
Menurut Kalla, tugas utama seorang pemimpin adalah menginspirasi, mempersatukan, dan memberikan motivasi kepada timnya. Namun, yang lebih krusial adalah kemampuan mengambil keputusan dengan cepat dan tepat. Ia menegaskan bahwa pemimpin yang baik harus berani memutuskan dan memastikan keputusannya dipahami oleh bawahan.
Selain itu, pemimpin juga harus mampu merencanakan, mengevaluasi, dan memberikan umpan balik secara konstruktif. Jika kinerja tim baik, penghargaan wajib diberikan, sementara kesalahan harus dikoreksi dengan tegas. Setiap keputusan yang diambil pun harus berdasar pada analisis yang matang dan memberikan manfaat jangka panjang.
Seorang pemimpin memiliki tanggung jawab besar, mulai dari menginspirasi, mempersatukan, memberikan motivasi, hingga mengambil keputusan yang tepat. Keputusan tersebut harus cepat, tegas, dan dapat dipahami oleh bawahan agar efektif. Selain itu, pemimpin juga bertugas merencanakan, mengevaluasi kinerja, serta memberikan penghargaan atau teguran sesuai kebutuhan. Namun, setiap keputusan yang diambil harus memiliki dasar yang kuat dan memberikan manfaat nyata bagi semua pihak.
Di tengah kompleksnya tantangan global saat ini, peran pemimpin menjadi semakin krusial. Dunia sedang menghadapi berbagai krisis dan konflik yang berdampak luas, seperti perang Rusia vs Ukraina, ketegangan India vs Pakistan, dan konflik Israel vs Hamas. Belum lagi konflik internal di Yaman, Sudan, dan Myanmar, serta potensi eskalasi di China-Taiwan dan Korea Selatan-Korea Utara. Semua ini tidak hanya mengganggu stabilitas global tetapi juga memengaruhi kondisi dalam negeri Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan pemimpin yang memahami dinamika global dan mampu mengambil langkah strategis sesuai situasi.
Baca Juga: Indonesia Diklaim Jadi Negara dengan Produksi BEV Tertinggi di ASEAN, Apa Efeknya?
Dampak konflik global terhadap perekonomian sangat signifikan. Perang Rusia-Ukraina, misalnya, mengganggu ekspor gandum Ukraina dan pasokan gas Rusia ke Eropa, menyebabkan kelangkaan energi di Jerman, Prancis, dan Inggris. Sementara itu, Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa harus menanggung beban finansial besar untuk mendukung Ukraina, sehingga memicu defisit anggaran. Konflik Israel-Hamas juga menambah ketidakstabilan ekonomi global.
Selain konflik, kebijakan ekonomi AS di bawah Donald Trump turut memperburuk situasi. Kebijakan tarif resiprokal yang diterapkannya justru membebani rakyat AS sendiri karena harga produk impor—terutama dari China—menjadi lebih mahal. Alih-alih menguntungkan, kebijakan ini memicu perang dagang yang merugikan banyak negara. Meski Indonesia tidak terlalu terdampak karena hanya 10% ekspornya mengalir ke AS, gejolak ekonomi global tetap memengaruhi pertumbuhan nasional.
Kebijakan Trump yang tidak terkalkulasi dengan baik telah menurunkan pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,7% menjadi 2,8% hanya dalam dua bulan. Indonesia pun terkena imbasnya: pertumbuhan ekonomi melambat dari proyeksi 5,2% menjadi 4,8%. Ditambah dengan beban utang dan defisit warisan pemerintahan sebelumnya, pemerintah terpaksa melakukan efisiensi besar-besaran. Akibatnya, banyak program pembangunan terhambat, daya beli masyarakat menurun, dan pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di berbagai sektor. Padahal, konsumsi domestik adalah penggerak utama perekonomian Indonesia.
Kondisi ini memicu negative cycle: penurunan produktivitas ekonomi melemahkan konsumsi, yang pada akhirnya memperlambat pertumbuhan. Dampak tidak langsungnya adalah maraknya premanisme sebagai efek dari pengangguran massal. Untuk mengatasinya, pemimpin tidak hanya harus memberantas premanisme, tetapi juga menyelesaikan akar masalahnya, yaitu lapangan kerja yang minim.
(责任编辑:热点)
- LPS ‘Upgrade’ BPR Biar Gak Gaptek Lindungi Dana Warga
- 伦敦国王学院容易去吗?
- Beda Ahok dan Anies, Orang 212: Reklamasi Ahok untuk Aseng, Anies
- 申请武藏野美术大学难不难?
- Anies Janji Manfaatkan 95% Lahan Reklamasi untuk Publik
- 意大利多莫斯设计学院学费是多少?
- 伦敦大学学院奖学金申请条件解析
- 首尔艺术大学学费是多少?
- Bela Anies, JK Sebut Pemprov Sudah Benar Soal Reklamasi
- 中央圣马丁艺术学院对本科作品集有什么要求?
- 武藏野美术大学排名是怎样的?
- Subsektor Perkebunan Sumbang 4,15% PDB, PTPN dan BPS Kerja Sama Digitalisasi Data
- 5 Daun untuk Mengobat Asma, Alami dan Minim Efek Samping
- Kenali Ciri